Cari Blog Ini

Senin, 27 September 2010

ANGGREK YANG MELENGKUNG

Entah kenapa aku ini koq sangat menyukai bunga anggrek.
Apakah karena bentuk dan warna anggrek itu yang terkesan elegan?
Ataukah hanya karena jenisnya yang beragam dan bermacam-macam?

Entahlah..

Yang jelas.

Dari segi keharuman memang masih kalah semerbak jika di bandingkan dengan melati.

Tetapi, dari segi kemunculannya ia adalah exsotic dan artistic.

Bayangkan,

Si anggrek ini, ia bisa begitu menyeruak dengan anggunnya di antara hiruk pikuk keangkuhan belantara.

Bentuknya yang nyaris menyerupai entah, membuat ia terlihat begitu ningrat dengan semburat aura yang begitu kuat.
Mungkin karena alasan itu pula lah, hingga si anggrek ini di jadikan simbol keningratan seorang wanita oleh Prabu Rakkai Maheisa dari kerajaan kalingga.
Sedikit ngarang memang.
Tapi seperti itulah cerita dari seorang pengarang.

Maka jangan heran pula, jika Asmarawan sekaliber Syaikh A rozz pun amat sangat menyukai anggrek.

Ada pengalaman menarik dari anggrek ini.
Sekitar Sepuluh tahunan yang lalu, aku pernah menanam sekuntum anggrek.
Dan ku pot begitu saja di sisi pagar rumahku.
Ku sebut begitu saja, karena sebetulnya ia adalah anggrek yang tak terawat.

Sebab, setelah ku tanam begitu saja.
Aku sudah tak lagi merawatnya karena kemudian aku harus pergi mengembara ke luar kota.
Kota yang slalu penuh dengan lintah dari negeri antah barantah.
Dan tentu saja, sejatinya bukanlah kota itu yang ingin aku ceritakan di sini.
tetapi aku hanya ingin bercerita soal anggrek yang aneh bin nyeleneh itu.

Kalau pun si anggrek itu masih hidup hingga kini, itu tak lebih dari ketidaksengajaan ibuku atau keluargaku yang slalu membuang air tepat ke arah tempat anggrek itu berada.

Tetapi dari sisi tata letak, perawatan dan perhatian, betapa ia adalah tanaman sebatang kara.

Terburuk adalah letaknya yang centang perenang sedemikian rupa itu sehingga cahaya sama sekali tidak pernah menjangkaunya.
Ia nyelip diujung pagar dengan matahari yang selalu terhalang untuk menyentuhnya.

Tegasnya, ia adalah anggrek tanpa sinar.

Tetapi selama ia berada di pagar itu, tak henti-hentinya ia memberi kami bunga jika musimnya telah tiba.

Ungu, segar dan tahan berlama-lama.

Jika bunga itu merekah, bukan cuma keluargaku yang menyapa, tetapi juga orang-orang lewat dan para tetangga:

''Duh cantiknya,'' begitu biasanya puji mereka.

Setiap komentar, membuat keluargaku bahagia.
Dan begitulah memang watak pujian.
Jika pun ia dialamatkan kepada barang-barang kita, maka bahagiannya akan singgah ke kita juga.

Setelah sekian lama anggrek ini memberi keluargaku bunga padahal dengan perawatan ala kadarnya,

Maka ketika aku kembali lagi ke rumahku dari pengembaraan yang tak pernah jelas endingnya.
Dan ketika sambil iseng ku perhatikan bentuk anggrek itu, sampailah aku pada keheranan yang tak ku pikir sebelumnya.
Sebuah keheranan yang memaksaku terpaksa harus termenung tanpa ujung hingga bingung.

Yakni, betapa seluruh tubuh anggrek ini koq ternyata cuma bergerak ke satu jurusan saja.
Yaitu menjulur ke luar, tepat ke bibir pagar arahnya.
Gerakan ini tidak di bentuk oleh siapapun, tetapi anggrek itu sendirilah yang membentuknya.

Butuh waktu bertahan-tahun memang, bagi tanaman ini untuk membengkokkan dirinya seperti itu,
tetapi agaknya itulah satu-satunya cara agar ia bisa hidup, bertumbuh dan bisa mendermakan elok lewat bunga-bunganya.

Butuh waktu bertahun-tahun!
Dan taksiranku, lebih dari sepuluh tahun sudah sejak anggrek itu ada di sana.

Awalnya memang aku acuh tak acuh.
Tetapi jika kita mau sedikit saja menafakurinya.
Maka Subhanallah.
Sesungguhnya ia tlah mengajarkan sesuatu kepada kita.

Lalu siapa yang meminta anggrek itu melengkungkan tubuhnya untuk menuju arah yang sama?

Oh, ternyata adalah kebutuhannya atas cahaya.

Pojok yang dihuni anggrek itu,
sebetulnya adalah sisi gelap dan cuma di luar pagar itulah cahaya berada.

Setitik demi setitik anggrek itu menjulurkan tubuhnya.
Sel demi sel ia mengulur diri untuk menuju seberkas cahaya.

Cahaya itu memang cuma beberapa inchi saja dari tubuhnya,
cahaya itu cukup berada di luar pagar, wilayah yang tak terhalang tembok tetangga.
Tetapi bagi si anggrek, itulah jarak yang amat jauh, yang harus ditempuh dengan hitungan tahun.
Bahkan lebih dari sepuluh tahun karena pot itu telah ada di sana sejak kakakku masih perjaka hingga sekarang sudah berumah tangga beranak dua. Dan kabar terakhir adalah duda.

Aku sebetulnya malu pada anggrek yang senantiasa berjuang mencari cahaya tanpa mengeluh ini.
Sebuah perjalanan yang intens, yang secara konsisten ia lakukan tanpa peduli apakah keluargaku sedang memperhatikannya atau tidak.

"Yang saya tau, cahaya itu ada di sana, dan langkah ini, harus terus menuju ke sana," begitulah pasti tekad anggrek itu.

Kini, tak perlulah aku menebak-nebak lagi, karena ia telah menyodori aku bukti atas seluruh jerih payahnya itu.

Maka setiap aku melihat anggrek itu, aku koq seperti melihat sebuah kekuatan keyakinan - atas segala sesuatu.

Betapapun lemahnya kita,

siapapun kita ini,

maka ia akan menjadi teramat kuat jika ia sedang rindu berjalan menuju cahaya.

< Saya Rozzi Narayan Untuk Pembaca Yang Budiman >



Tidak ada komentar: