Cari Blog Ini

Sabtu, 18 September 2010

BELAJAR SENYUM DARI ORANG GILA

BELAJAR SENYUM DARI ORANG GILA

Bobodolan, Rancaekek, Bandung Timur 1995

Kisah ini sebetulnya panjang jika harus di beberkan,
maka itu aku sengaja memangkasnya agar tak terlalu lelah membacanya.
Tapi jika sudah di pangkas, koq ternyata masih panjang juga, jwengkel akhirnya.

Bayangkan.

Di awal cerita saja kita ini sudah di suruh untuk membayangkan.

Maka bayangkan saja.

Apa jadinya jika harus hidup bersama Ibu tiri yang terkenal kejam itu,
Pastinya itu bukanlah cita-cita.
Dan tentu saja, cerita inipun bukan hanya sekedar Opera Van Java yang kerap menghadirkan gelak tawa.
Apalagi cuma sekedar penghias dinding belaka, yang terkadang slalu menjadi bahan tertawa.
Memang, derita ini slalu akrab dengan sengsara. Tapi sengsara tak melulu harus menderita.
Jadi, derita ini boleh mendera, asal kita tak boleh hilang tawa.

Ibu tiri itu sebenarnya hebat jika baik. Tapi jika ia pura-pura sok baik. Brengsek jadinya.

Baik memang awalnya, malah kebaikannya itu masih ku kenang hingga hari ini.
Sebuah kebaikan yang rasanya tak mungkin ku lupakan meski hanya berupa bolak balik mengantar aku ke WC di malam hari - di saat aku harus terkena Diare waktu aku baru mulai masuk SMP. Itu saja.
Tapi kebaikan yang sebatas itupun rasanya sulit sekali ku lupakan.
Dan itulah watak kebaikan yang datangnya di saat benar-benar kita butuhkan.
Ia pasti akan sulit sekali kita lupakan.

Akan tetapi, kebaikan yang berupa perhatian itu sayangnya tak lama bertahan,
karena kemudian si ibu tiri harus segera mempunyai momongan. Dari bapakku tentunya.
Wajar memang, ia ingin mencurahkan perhatiannya itu hanya kepada anaknya semata.

Hanya saja, kewajarannya itu rasanya tidak adil jika ia tidak menyisihkan sedikit saja perhatiannya itu kepadaku.

Sejak ia punya anak dari bapakku, ia memang jadi lebih sibuk dengan anaknya sendiri.
Ketika Anaknya itu bertambah besar. Ia pun makin sibuk lagi.
Kesibukan yang menurutku terlalu berlebihan dan sangat tidak perlu untuk di tunjukan.
karena kesibukan yang ditunjukannya itu tak lebih dari sekedar kecemburuan-kecemburuan kolosal terhadapku.

Jika bapakku memberiku uang jajan dua ribu,
sedangkan anaknya cuma seribu. Ia pun sibuk cemburu.
Pun jika bapakku itu membelikanku baju baru, sementara anaknya cuma popok baru.
Ia lagi-lagi cemburu.

Pendek kata, selama menyangkut soal penafkahan.
Si ibu tiri ini bisa menjadi begitu gampang cemburuan.
Dan kecemburuannya itu sangatlah tak beraturan.
Kecemburuan yang menenggelamkan wajahnya slalu di dalam kecemberutan.

Setiap kali ia melihat wajahku, ia pasti akan langsung memasang wajah cemberut.
Tak peduli apakah ia tadinya sedang asyik tertawa.
kecemberutan yang terkadang malah membuatku ingin bercermin kembali pada kaca.
Apakah wajahku ini mirip kera. Atau hanya karena potongannya yang buruk rupa?

Aneh memang jika memperhatikan perilaku Sang ibu tiri ini.
Soal makanan saja misalnya,
Ia bisa mendadak begitu cerdik sekaligus licik.
Jika ada makanan yang mewah sedikit saja, maka ia akan buru-buru menyembunyikannya dengan menyimpannya dilemari, dan lemari itupun ia kunci rapat, agar tak dirampok olehku.
Bahkan kalo bisa ia menyembunyikannya dikamarnya sekalian.
Dan ini memang bukan bualan. Tapi inilah pengalaman.

Jadi, sepanjang menyangkut soal makanan, kami ini bisa saling rampok-rampokan.
Karena begitu bencinya aku terhadap yang namanya kekikiran dan kedengkian.

Soal makan saja aku ini sudah di jatah sekian.
Tak ubahnya babu rumahan yang tengah di aniaya sang majikan.
Cukup saja makanan-makanan kelas rendahan bagiku.
Tempat makannya pun harus berbeda sendiri dengannya.
Jika ia makan di tempat makan keluarga. Maka aku ini hanya kebagian makan di dekat tangga.

Dan untung saja aku ini bukanlah tipe anak yang berwatak pengadu.
Karena terhadap makanan, sebetulnya aku ini termasuk orang yang nyaris tak pernah itungan.
Ada makanan yo di makan. Tak ada pun tak pernah kelimpungan.
Apalagi kalo sampe harus gontok-gontokan, sikut kiri sikut kanan hanya gara-gara berebut soal makanan. Sungguh betapa amat memalukan.

Sejak itulah ibu tiri ini seolah mengobarkan perang terhadapku.
Mulai dari perang dingin hingga perang gerilya.
Kalau pun ada sedikit hubungan baik di antara kami,
itu pun tak lebih dari sekedar gencetan senjata belaka yang sifatnya itu sementara.
Cuma sekedar mengurangi kadar rampok-rampokan, tetapi justru malah menambah kadar kecurigaan.
Dengan kata lain, hubungan kami itu teramat miskin akan chemistry. Soulnya tak bersua.
Jadi jangan heran jika aku ini lebih suka di sekolah katimbang harus berdarah-darah didalam rumah.

Tegasnya, meskipun satu rumah kami ini nyaris tak pernah ramah.
Mulai dari hal yang remeh temeh hingga hal-hal yang paling nyeleneh.

Ada saja makanannya yang lezat itu ku rampok habis ketika ia lengah.
Dan itulah saat-saat dimana aku bisa begitu puas melihat expresi wajahnya yang terperangah.

Namun sayang, kepuasanku itu ternyata tak juga mampu menghadirkan kembali senyumanku yang telah lama musnah.

Ada saja memang soal-soal remeh yang kadang membuatku bertingkah yang aneh-aneh.
Pagi itu misalnya.
Selepas menunaikan sholat subuh aku ini kecolongan.
kecolongan oleh kantuk yang mengakibatkan aku kembali ketiduran.
Dan ketika bangun, pagiku sudah kesiangan.
Maka jangankan untuk sarapan.
Untuk mandi pun rasanya waktu ini tak berkecukupan.
Jangankan untuk mandi, untuk membereskan buku-buku yang berserakan saja, aku ini nyaris kerepotan.

Dan benarlah, saat tiba di sekolah, aku hanya bisa marah ketika satpam itu mengusirku secara lumrah.

Aku bingung dengan wajah murung.

Hendak pulang kerumah, tentunya hanya akan mengundang masalah.
Hendak kerumah teman, pastilah mereka semua pada sekolah.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah dengan langkah payah tanpa jelas arah.
Uap amarah sudah benar-benar mengepul di ubun-ubunku.

"Ambek nyedek, tanaga midek" begitulah pepatah Sunda bilang.
Amarah memuncak, tenaga terdesak.
Atau, amarah mendesak, tenaga tersedak. Sama saja memang.
Maka katimbang jadi membeku, lebih baik ku lampiaskan saja pada apapun yang menghalangiku.
Dan begitu melihat kaleng kosong bekas minuman yang tergeletak begitu saja di tepi jalan itu,
kutatap sebagai benda terkutuk yang begitu empuk untuk ku jadikan sasaran.
Maka si kaleng kosong bekas minuman itu segera ku tuendang saja jauh-jauh dengan kerasnya.
Tak peduli seberapa buruk tendanganku itu, yang penting aku bisa puas melampiaskannya.

Tetapi astaga.

Dan itulah watak dari tendangan yang di sertai amarah.

Si kaleng kosong itu justru malah berlabuh di tempat yang salah;
tepat sekali di atas pangkuan si orang gila yang sedang asyik melahap makanan sisa.

Anjrit tenan!! Rupanya aku ini berbakat pula menjadi pemain bola, batinku.

lihat saja itu.

Padahal, ketika melakukan tendangan konyol itu. Aku ini nyaris tak memperhitungkan secuilpun terkait soal sudut Elevasi Optimum yang dapat menyebabkan sebuah lemparan menjadi tepat sasaran.
Tetapi dasar memang aku ini berbakat.
Meskipun aku luput memperhitungkan soal sudut tersebut.
Namun gaya yang kukeluarkan untuk tendangan itu, justru sudah mirip seperti gaya pemain bola.
Dan rupanya itulah yang menyebabkan tendanganku itu menjadi begitu terarah hingga sampe-sampe harus salah kaprah.
Mirip sekali dengan tendangan geledeknya Francesco Totti yang berlabuh tepat di pangkuan kiper Paolo Rossi dari club Cagliari.
Saking terarahnya sampe-sampe Si Totti pun di bodoh-bodohi oleh pelatihnya Donadoni.

Tetapi untung saja, aku ini sedikit lebih cerdas dari si Totti.
Sehingga begitu melihat gelagat yang tak baik itu.
Aku segera berpura-pura saja berlagak cedera.
Sedikit meniru gayanya David Villa, ketika gagal membobol gawang Belanda.
Dan hasilnya pun ajaib.

Si orang gila itu justru malah terkesan acuh tak acuh.
Ia tak segera mencari tahu siapa penendang buruk kaleng kosong tersebut.

Betapa enjoynya orang gila ini, pikirku.

Koq bisa ya?

Sambil senyum-senyum sendiri.
Ia dengan cueknya memungut kaleng bekas minuman itu.
Menguncang-guncangkannya, lalu kemudian meneguknya walau terlihat tak ada airnya.

Amboooy...!! Betapa aku terpana dibuatnya.
Aku yang sedang marah ini, nyaris saja tertawa karena ulahnya.

Sambil takut-takut begitu, aku menatap dalam ke sekujur orang gila itu.
Rambutnya yang kriwil, kumal, pakaian compang-camping dengan penampilannya yang kacau balau. Centang perenang sedemikian rupa itu, seolah menegaskan kepada publik bahwa orang ini sudah begitu senior menjalani profesi gilanya itu.
Sebuah profesi yang tentunya hanya akan membuat geli siapapun yang memandangnya.

Tetapi sejatinya bukan itu yang ku tangkap.
Ada semacam kesan lain dari orang gila ini yang membuatku terpaksa harus tercenung hingga bingung.
Inilah pelajaran yang sesungguhnya, pikirku.

Aku boleh saja bolos, tapi pelajaranku tak boleh bolong, tekadku.
Meski pelajaran ini datangnya dari luar dan bersifat liar,
Tapi sungguh, pelajaran ini justru sedang amat kubutuhkan ketika itu.
Sebuah pelajaran yang tak pernah ku dapat sebelumnya bahkan dari kurikulum wajib di sekolahku.

Yakni: Tentang tabiat si orang gila yang begitu enjoy dengan kegilaannya.

Dan inilah keistimewaan orang gila:
Pertama, Semakin ia disakiti, semakin ia tak bereaksi.
Semakin ia tak bereaksi, maka semakin energi si penghina terhabisi.
Yang ujung-ujungnya si penghina ini hanya akan menyerah lelah kepada ulahnya.
Teori inilah yang kemudian di juluki oleh teman-temanku dengan istilah teori batu.
Batu itulah seperti orang gila.

Kedua, yakni soal senyumannya.
Betapa senyum itu selalu memberi kesejukan bagi penontonnya, tak peduli apakah ia datangnya dari orang gila. Dan betapa senyum selalu mencerahkan wajah pelakunya.
Meskipun orang itu sudah jelas-jelas di vonis sebagai gila, tetapi karena slalu tersenyum, ada gambaran damai di wajahnya. Dan itulah yang menurutku paling utama.
Aku yang merasa waras saja jarang tersenyum sedemikian rupa, baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Apalagi kalo sampe semurni dan setulus itu.

Jadi, jika menilik kepada kualitas senyum.
Senyumku ini jelaslah bukan tandingannya.

Sekali waktu ada memang senyuman itu di wajahku, tapi itupun sifatnya kuantitatif.
Dan senyum kuantitatif itupun jumlahnya tak seberapa, yang tak seberapa itupun cuma berisi senyum-senyum yang terpaksa saja. Terpaksa sok sabarlah, sok baiklah, sok ramahlah.
Dan keadaan sok inilah yang membuat diam-diam batinku ini malah terancam lelah.

Maka betullah, apa yang di katakan Mbak Mitha temanku itu-
Seorang pakar persenyuman terkemuka dari kota Samarinda:

Bahwa senyumanku itu sejatinya nyaris lahir dari ruang hampa.
Jadi, senyum kuantitaifku ini akan cepat sekali menghilang dari wajahku.
Secepat itu datangnya, secepat itu pula perginya tanpa meninggalkan jejak apa-apa.
Bibirku ini boleh tersenyum tetapi hatiku melayang entah kemana.
Sungguh berbeda dengan senyum si orang gila itu yang seperti menetap slalu di bibirnya.

Maka sejak itulah.
Tepatnya semenjak aku bertemu dengan orang gila itu, hari-hariku menjadi lebih sering tersenyum meski tanpa sebab apapun.
Tak peduli apakah ibu tiriku itu memvonisku sebagai gila karena aku slalu tersenyum tiba-tiba,
yang penting kualitas senyumku ini bisa menyaingi senyuman si orang gila. Begitu tekadku ketika itu.
Dan ini bukanlah mengada-ada.
Sebab, semenjak aku sering tersenyum, teman-temanku hampir semuanya terkagum-kagum melihat wajahku yang tak lagi murung.
Lalu jika suatu hari senyumku itu kembali hilang. Maka obatnya gampang.
Aku tinggal datang saja ke tempat itu.
Tempat di mana orang gila itu mangkal.
Dan begitu aku melihat orang gila itu senyum-senyum sendiri.
Aku pun seperti menemukan kembali senyumanku yang hilang.

Tidak ada komentar: